Barito Selatan

Menjaga Napas Tradisi: Anyaman Purun Rantau Kujang Bertahan di Tengah Zaman

Sampurna News
72
×

Menjaga Napas Tradisi: Anyaman Purun Rantau Kujang Bertahan di Tengah Zaman

Sebarkan artikel ini
IMG 20251020 192914
Oplus_0

Foto: Salah satu Ibu – Ibu pengrajin Purun di Kelurahan Rantau Kujang, saat melakukan aktivitas.Minggu (20/10/2025). (H. Syarif Hidayat).

Rantau Kujang,SampurnaNews.com –
Suara kresek… kresek… terdengar lembut dari balik dinding papan sebuah rumah kayu di tepi Sungai Barito. Di dalamnya, beberapa perempuan paruh baya duduk bersila di lantai, tangan mereka sibuk memilin helai-helai purun, tanaman rawa berwarna hijau kekuningan yang telah dijemur hingga kering.

Di ruangan sederhana itu, waktu seolah berjalan lambat. Hanya suara anyaman yang mengisi udara, berpadu dengan aroma purun kering dan desir angin dari sungai.

Di tengah ruangan, Mahdan, Ketua Kelompok Pengrajin Purun Jenamas, duduk memperhatikan. Gerak tangannya lincah, sesekali mengoreksi hasil kerja anggota kelompoknya. Di usia yang tak lagi muda, ketenangannya seperti mencerminkan filosofi purun itu sendiri: lentur, sabar, tapi kokoh menahan zaman.

“Purun ini sudah jadi bagian hidup kami sejak kecil,” katanya sambil menatap hasil anyaman yang mulai membentuk tikar besar. “Dari orang tua kami belajar menganyam. Sekarang, kami teruskan supaya tidak hilang.”

Rantau Kujang, yang berada di Kecamatan Jenamas, Kabupaten Barito Selatan (Barsel), adalah wilayah dengan lanskap unik. Rawa-rawa membentang sejauh mata memandang. Di musim hujan, air bisa naik hingga ke halaman rumah; di musim kemarau, hamparan purun tumbuh subur di dataran basah yang mengering.

Dari sanalah masyarakat Jenamas menggantungkan hidup. Purun tanaman yang bagi sebagian orang dianggap gulma, namun justru bagi pengrajin menjadi sumber rezeki dan kebanggaan.

“Kalau musim kemarau, kami ke rawa ambil purun. Kami pilih yang tua, potong, lalu jemur sampai benar-benar kering. Setelah itu baru bisa dianyam,” cerita Machdan. “Kalau tidak kering betul, hasil anyamannya gampang rusak.”

Setiap helai purun yang dijemur di bawah matahari Barito adalah awal dari perjalanan panjang: dari bahan mentah menjadi karya tangan yang bernilai. Sebuah perjalanan yang menuntut kesabaran, ketelitian, dan cinta terhadap tradisi.

Namun di tengah semangat itu, tantangan datang silih berganti. Harga bahan bakar naik, pesanan menurun, dan peralatan semakin menua.

“Kami hanya punya satu alat tumbuk purun, itu bantuan dari PT Adaro dan PT PAMA lewat program CSR tahun 2008,” ujar Machdan. “Sekarang alatnya sudah retak, sering macet. Kalau rusak total, kami bisa berhenti produksi.”

Lebih dari satu dekade lalu, program CSR dari dua perusahaan tambang besar di Kalimantan Tengah itu membawa perubahan besar bagi kelompok pengrajin purun Jenamas. Mereka bukan hanya mendapat alat, tapi juga pelatihan keterampilan dan manajemen usaha kecil.

“Dulu kami hanya tahu bikin tikar. Setelah ikut pelatihan, kami diajari bikin tas, dompet, dan suvenir kecil,” kenang Machdan. “Kami juga belajar soal pewarnaan alami dan desain yang lebih modern.”

Hasilnya, produk mereka mulai dikenal di luar daerah. Beberapa kali mereka ikut pameran di Buntok dan Palangka Raya. Tas-tas purun dengan warna alami dan motif tradisional menarik minat pengunjung.

Namun, perhatian terhadap kelompok pengrajin perlahan surut seiring pergantian waktu dan prioritas perusahaan. Pelatihan berhenti, alat rusak tak terganti, dan semangat sebagian anggota mulai luntur.

“Kami masih bertahan karena cinta. Tapi kalau tidak ada dukungan lagi, susah. Kami butuh pembinaan lagi, dan alat baru supaya bisa produksi lebih cepat,” kata Machdan, nada suaranya bergetar.

Sekretaris Kecamatan Jenamas, Eddy Hariyadi, ST., MT., memahami kekhawatiran itu. Ia menilai kerajinan purun bukan sekadar usaha kecil rumahan, melainkan bagian dari identitas kultural masyarakat rawa.

“Kerajinan purun ini kekayaan lokal yang langka,” ujarnya. “Ia menyimpan nilai budaya, ketekunan, dan filosofi hidup masyarakat Jenamas. Kami akan berkoordinasi _lebih lanjut_ dengan dinas terkait dan perusahaan terutama PT Adaro yang selama ini perduli terhadap masyarakat, termasuk menyalurkan dana CSR dan manfaatnya sangat dirasakan oleh masyarakat, guna mencari solusi terbaik.” ujar Eddy saat mengunjungi tempat pengrajin, Minggu (19/10/2025).

IMG 20251020 192833
Oplus_0

Foto: Sekcam Jenamas Eddy Hariyadi saat mengunjungi tempat pengrajin Purun di Kelurahan Rantau Kujang,.Minggu (19/10/2025). (H. Syarif Hidayat).

Menurut Eddy, potensi ekonomi kreatif dari kerajinan purun masih besar. Produk-produk berbahan purun bisa dipasarkan sebagai suvenir wisata, produk ramah lingkungan, atau kerajinan khas daerah.

“Bayangkan kalau dikembangkan dengan desain modern dan pemasaran digital, anyaman purun bisa bersaing di pasar nasional. Tinggal dukungan alat dan pelatihan berkelanjutan,” tambahnya optimistis.

Tak lupa, eddy mengapresiasi pihak Perusahaan PT.ADARO Indonesia yang selama ini berkontribusi dalam mengembangkan kerajinan purun melalui program CSR_ .

“Mewakili pemerintah Kecamatan Jenamas, kami mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada PT.ADARO atas dukungan dan perhatiannya selama ini terhadap kerajinan purun sebagai potensi unggulan kecamatan jenamas melalui program CSR maupun penyelenggaraan even Festival Purun yang diselenggarakan setiap tahunnya”

“Kami berharap kolaborasi ini dapat terus ditingkatkan, sehingga dapat memberikan kontribusi perekonomian yang positif bagi masyarakat,” pungkasnya.

Bagi beberapa warga Rantau Kujang, menganyam purun bukan sekadar pekerjaan. Di setiap pilinan, tersimpan filosofi tentang kesabaran, ketelitian, dan keseimbangan hidup.

“Kalau kita terburu-buru, anyaman jadi miring, tidak rapi,” ujar Mila, salah satu pengrajin perempuan yang sudah dua puluh tahun menekuni kerajinan ini. “Jadi harus sabar, pelan-pelan. Sama seperti hidup.”

Mila mengaku, dulu banyak perempuan di kampungnya bisa menganyam. Tapi kini, anak-anak muda mulai jarang tertarik. Banyak yang lebih memilih bekerja di luar daerah atau menjadi buruh di perusahaan.

“Anak-anak sekarang lebih suka main HP. Mereka bilang anyaman itu pekerjaan orang tua,” ujarnya, tersenyum pahit. “Padahal, dari sinilah kami bisa menyekolahkan mereka.”

Mahdan pun punya kekhawatiran serupa. Ia khawatir jika tak segera ada regenerasi, tradisi purun akan hilang pelan-pelan.

“Kami ingin pemerintah bantu bikin pelatihan untuk anak muda. Biar mereka tahu, menganyam itu bukan pekerjaan kuno. Ini seni, warisan, dan sumber penghasilan juga,” katanya.

Sore itu, matahari mulai condong ke barat. Sinar jingga menembus sela-sela dinding kayu, jatuh di tumpukan purun yang belum dianyam. Di luar rumah, suara anak-anak bermain di tepian sungai berpadu dengan desir angin yang membawa aroma tanah basah.

Di dalam ruangan, tangan-tangan para pengrajin terus bergerak. Helai demi helai purun disusun, dipilin, dan dirangkai. Suara kresek… kresek… kembali terdengar, lembut, ritmis, seolah menyuarakan napas kehidupan yang tak ingin padam.

Machdan menatap hasil kerja kelompoknya dengan senyum bangga. “Kami mungkin jauh dari kota, tapi dari sini kami bisa buktikan bahwa tradisi masih hidup,” katanya. “Asal ada kemauan dan sedikit dukungan, purun ini bisa jadi kebanggaan Barsel.”

Di Rantau Kujang, di antara rawa dan waktu, tangan-tangan sederhana itu terus menenun harapan. Dari helai purun yang lentur, mereka menjaga sesuatu yang lebih berharga dari sekadar penghasilan: napas tradisi yang terus bertahan di tengah zaman.( H.Syarif Hidayat).